Dalam setiap pemilu, sejumlah lembaga beramai-ramai menggelar apa yang dinamakan quick count dan exit poll pada saat pemungutan suara. Tak jarang satu lembaga menggelar quick count dan exit poll sekaligus. Apa beda dua metode itu?

Quick count atau hitung cepat barangkali lebih familiar di telinga masyarakat. Dengan metode ini, partai dan pasangan capres-cawapres terpilih sudah bisa diprediksi hanya beberapa jam setelah tempat pemungutan suara (TPS) ditutup. Hasilnya pun tidak pernah meleset.

Hasil quick count memang nyaris presisi karena sampelnya merupakan jumlah suara faktual di TPS. Hal ini berbeda dengan survei sebelum pemungutan suara, yang sampelnya adalah pemilih yang sangat mungkin mengubah pilihan pada saat pencoblosan.

Meski lebih presisi ketimbang survei pra-pemungutan suara, hasil quick count setiap lembaga juga berbeda-beda. Biasanya, paling besar selisihnya 1 persen. Hal ini wajar mengingat quick count hanya mengambil sampel suara di TPS untuk memproyeksi hasil perolehan suara sebenarnya. Di sinilah timbul kesalahan (error).

Batas kesalahan (margin of error) bisa ditetapkan oleh masing-masing peneliti/lembaga, tergantung dari seberapa banyak sampel TPS yang akan diambil. Semakin banyak sampel TPS yang diambil, semakin kecil margin of error sebuah hasil quick count.

Semakin banyak sampel TPS tentu baik untuk meminimalisir kesalahan. Namun semakin banyak sampel juga akan memakan banyak biaya. Bayangkan, untuk Pemilu 2014 ini saja terdapat 585.218 TPS. Sampel 10 persen saja sudah 58.521 TPS. Soal metode penarikan sampel, lembaga biasa menggunakan stratified random sampling atau multistage random sampling.

Bagaimana dengan exit poll? Metode polling ini dilakukan dengan cara menanyai pemilih setelah mereka keluar dari TPS. Berbeda dengan quick count yang menjadikan suara TPS sebagai sampel, exit poll menjadikan pemilih yang baru keluar TPS sebagai respondennya.

Karena itu, exit poll lebih menargetkan data demografi pemilih, bukan memprediksi siapa yang bakal menang dalam pemilu atau pilkada. Data demografi yang dicari biasanya adalah usia, agama, suku, gender, tingkat pendidikan, pendapatan, latar belakang pilihan partai politik, afiliasi ormas keagamaan dan lain-lain.

Dengan exit poll Pilpres 2009 misalnya, peneliti/lembaga bisa melihat dari latar belakang pendidikan apa mayoritas pemilih SBY- Boediono. Dengan data demografi itu, peneliti lebih mudah memberikan interpretasi penyebab kemenangan atau kekalahan partai/calon, yang sebelumnya sudah diprediksi lewat quick count.